Sabtu, 04 Januari 2014

 10.13   Unknown   No comments
Bertemu lagi mata kita, di ujung hari, di sebuah warung kopi. Seperti biasa. Terduduk diatas sofa merah tengah ruang, kita saling merekah pandang. Dalam matamu aku menemukan pandang yang setenang surga. Dan binar cahaya dari matamu itu, menyeretku ke dalam sebuah ruang yang hampa akan luka. Sebuah senyum di bibirmu memecah semua hening, dan kita tertawa. Lalu kita mulai bicara, mencari persepsi-persepsi yang berbeda. Mengeluarkan diri dari alur hati yang terhalang tembok bernama gengsi. Hanya padamu hati mau bercerita. Hujan dan kopi jadi sebuah provokasi sempurna untuk kita berdua, untuk puisi-puisi cinta tercipta. Aku menulis sajak-sajak tentang kopi. Kamu menulis syair-syair tentang gerimis pagi. "Mereka menganggap kopi adalah yang membuat kita terjaga, menghangatkan saat dingin melanda. Namun bagiku kopi adalah permainan nyawa nyawa. Senyawa volatil yang menimbulkan aroma, dan senyawa senyawa lain yang menyempurnai rasa, lalu kita nikmati, dan kita bahagia, dengan kopi kita menghidupi nyawa." "Seperti pada tahap pirolisis, kopi mengalami perubahan-perubahan kimia. Tak jauh beda dengan hati, yang mengalami perubahan-perubahan rasa saat setiap bulir bulir kafein melintasi indera perasa. Kecuali menikmati secangkir kopi denganmu, semua rasa adalah bahagia." "Aku membuat lapisan-lapisan imaginasi tentang kopi. Membayangkan jika ada derai-derai hujan dalam hati, mungkin kopi akan membangun jembatannya sendiri, jembatan yang membuat hati lepas dari segala macam kesakitan. Aku mungkin membayangkan terlalu tinggi. Atau mungkin kopi benar-benar mempunyai daya magis imaginasi yang sulit terhenti." Kamu menghela lama, lalu tersenyum mendengar sajak-sajakku yang rumit. Bagimu, kesederhanaan adalah cerminan sempurna dari perasaan. Setelahnya, aku mulai mendengar syair-syairmu dalam penuh pesona. 

 "Berkali-kali aku bertanya pada gerimis tentang rindu, jawab yang ia berikan hanyalah ribuan bayang tentangmu."


 "Sekalipun aku tak pernah ingin menghentikan gerimisMu, karena sajak-sajak cinta tumbuh subur dalam tetes-tetesnya." 

 "Aku rasa gerimis cemburu padamu, hingga dia sengaja turun tiba-tiba, tak memberi waktu untukku mengatakan betapa cinta kita bercahaya.

" Bagaimana aku tak tersenyum dengan syair-syair itu?

................................................................................. 
 Aku masih di warung kopi yang sama. Menulis puisi-puisi yang sama. Di depan pandangku, duduk orang yang beda. Dengan caranya sendiri, kopi masih membuatku bahagia. Apakah kamu masih sama? Dengan gerimis dan syair-syair yang engkau cipta? Bagiku, kopi akan selalu sama. Namun, gerimis akan jadi asing bagiku. Gerimis tanpa syair-syairmu, aku tak mengenalinya.

0 komentar:

Popular Posts

mention yuk

ramlan setiawan. Diberdayakan oleh Blogger.